/Melukis Memar di Langit Ibu; Rekahkan Jerit Tangisan Seorang Ibu

Melukis Memar di Langit Ibu; Rekahkan Jerit Tangisan Seorang Ibu

Berangkat dari Point of  View Seorang anak. Tubuhnya secuil harapan untuk bisa pulih pada traumanya. masa lampau menjadi momok yang paling ditakuti. Terekam jelas pada ingatannya yang terlanjur suntuk. Dengan nada nelangsa sang anak hanya mengumandangkan;  “Ayah//Bisakah kau berhenti//Melukis memar pada langit ibu?”. Melalui karya musik yang diterbitkan oleh Rekah, saya mencoba menangkap dan mengkonstruksikan patriarki yang menyebabkan luka dan kekerasan pada perempuan.

Rekah merupakan musisi paling konsisten secara konseptual depresif dan gelap. Unit Skramz asal Jakarta Selatan berhasil membawakan Emo Revival; Skramz exploratif. Bagaimana tidak, elemen musik depresi yang melekat pada stereotip Emo berhasil di embat semua. pada 2017 Rekah meluncurkan EP pertama yang dinamai “Berbagi Kamar”. lalu 2021, Rekah merilis single “Kabar dari dasar Botol” dan “Panduan Menunda Kiamat” sebagai gerbang menuju Album penuh, 2022 barulah Rekah merilis album penuh bertajuk “Kiamat”. sontak album penuh tersebut mendapat respon positif bagi khalayak Emo.

Melalui buah karya ciamik “Melukis Memar di Langit Ibu”. Rekah mencoba suarakan orang-orang yang terlanjur termarjinalkan oleh sistem baik Hukum maupun Sosial. Besar harapan Rekah untuk tidak mengabaikan kekerasan terhadap perempuan baik fisik dan non fisik. Dengan mencuatnya “Melukis Memar di Langit Ibu” untuk bisa aware akan kesadaran kekerasan yang dialami pada perempuan, dimana perempuan sering dipandang lemah oleh lawan gender. hal ini bisa dikaitkan erat dengan stereotip patriarki. Patriarki merupakan bualan sistem sosial di mana laki-laki memiliki peran dominan dan superior ketimbang perempuan, hingga menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan menganggap perempuan hanyalah peran subkordinat yang akan semena-mena dikibulin gender laki-laki.

“Rasa jadi kuasa

Kata jadi senjata

Dua matamu tajam

Tubuhku ladang trauma

Dadaku karangan bunga

Kata-kata tumpul berserak

Ornamen kesedihan

Kau lukis memar di langitku

Kau warnai s’gala hari

Hitam.”  

Rekah mengeja gejala pada seorang yang mengalami kekerasan fisik. Syair tersebut sebagai ungkapan bahwa tubuh korban selalu terbayang akan memori-memori bengis yang sangat ogah untuk dilalui atau bahkan diingat. Traumatis yang timbul oleh seorang ayah kepada Ibu menumbuhkan rasa kebencian sebagai anak. “Rasa jadi kuasa // Kata jadi senjata // Dua matamu tajam”. Patriarki menjadi alasan utama untuk ngelucuti sistem yang dibangun oleh sosial antah berantah. Dalam penggalan lirik ini, Ayah digambarkan pemegang kuasa dan kendali didalam rumah tangga, hingga perilaku semena-mena pun tak terhelakan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan yang dilakukan pada Ibu.

Dikutip data Komnas Perempuan pada tahun 2023, Indonesia mencatat sekitar 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan, menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, namun tetap mengkhawatirkan. Dari angka ini, 289.111 kasus adalah kekerasan berbasis gender yang mayoritas terjadi di ranah pribadi. Bentuk kekerasan yang sering dilaporkan meliputi kekerasan psikis, fisik, seksual, hingga ekonomi.

Tak sia-sia, jika saya mengikuti perjalanan Rekah dari EP Berbagi kamar. Bagiku, single yang digarap bersama seorang seniman sekaligus musisi Stepania Shakila sangat cemerlang untuk menjadi kontributor vokal dan narasi pada single ini. Perempuan sekaligus menjadi Ibu ,Stephania Shakila ingin rapalkan suara untuk perempuan-perempuan diluar sana yang masih termarjinalkan oleh sistem sosial. Pada pembukaan intro Stepania lantunkan spoken word yang menyayat.

“Ibu pernah bilang nadinya sekuat baja

Sayang hatinya ringkih

Ia pernah bertaruh dengan maut

Maut, ternyata tak semenyeramkan itu

Lebih menakutkan, berpapasan dengan sepasang mata yang dingin

Apalagi mengobati bunga-bunga yang layu pada hatinya”

Rekah dan Stepania Shakila Menyuguhkan narasi lagu yang kuat serta nuansa agresif namun masih tetap melankolis. Bagian nyanyian clean dengan nada yang cukup poppy, seakan menuntun keluar dari terowongan gemuruh riuh musik depresi untuk kemudian menemui cahaya diujung terowongannya.

Buat saya pribadi “MMDLI” sukses ikut melibatkan emosi pendengar sekaligus jadi tamparan keras buat kita untuk melihat dan lebih aware pada kondisi sekitar, di mana kekerasan berbasis gender masih menjamur di sini. Ironis memang. Semoga melalui karya ini mampu memberikan dampak yang baik, bagi para pendengarnya sekaligus pun mewakili mereka yang punya pengalaman pahit seputar ini untuk tetap stabil secara fisik maupun mental. Setidaknya Rekah merapalkan Perempuan termarjinalkan untuk lebih aware dan berani bersuara.

Disunting oleh : @abyudaya_n.f

Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang seringkali dianggap bisa ngomong depan umum, nyatanya tidak. Lebih senang berkomunikasi melalui tulisan, dibanding verbal. Saat ini lagi menggeluti komunikasi gender untuk bisa mengetahui fundamental bahasa gender itu apa! Selain itu, saya suka baca buku Nietzsche, Albert Camus meskipun sering dianggep poser, tapi memang sih!